Terinspirasi dari membaca
sebuah perbincangan mailing list dan diskusi kecil di group, saya jadi berpikir
kembali, Training and Development di kalangan pegawai negeri sipil (lebih
tepatnya yang akan saya bahas adalah tugas belajar) sebenarnya memotivasi atau
mendemotivasi? apa impact ke depannya terhadap organisasi?
Seperti yang sudah saya sebutkan di awal tulisan ini, diskusi tersebut mengulas seputar potongan gaji bagi seorang pegawai negeri sipil. Saya sendiri kaget sebenarnya (malu sebenernya, sudah lama kerja di bidang ini malah baru tahu detailnya sekarang), karena implementasi peraturan antar satu instansi dengan instansi lainnya ternyata berbeda. Sebagai contoh, di Kementerian Keuangan, berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 18/PMK.01/2009 tentang Tugas Belajar di Lingkungan Departemen Keuangan Pasal 9 menyebutkan bahwa pegawai yang melaksanakan tugas belajar diberikan gaji secara penuh. Sementara di Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, berdasarkan Permendiknas Nomor 48 Tahun 2009 Pasal 11 ayat 3, disebutkan bahwa pegawai tugas
belajar yang lajang mendapatkan tunjangan keluarga sebesar 50% gaji dan yang sudah berkeluarga mendapatkan tunjangan keluarga sebesar 100% gaji. Sedangkan di instansi saya sendiri (Kemenpan), kurang lebih sama dengan Kementerian Pendidikan, demikian pula dengan Kementerian Kelautan dan Perikanan yang menyebutkan tujangan keluarga sebagai tunjangan tugas belajar berdasarkan Peraturan Menteri KKP PER.09/MEN/2011 Pasal 16 ayat 3. Hal inilah yang menimbulkan pertanyaan saya, mengapa untuk tugas belajar memiliki implementasi peraturan yang berbeda antar instansi? Saya memang tidak mengambil semua instansi sebagai sample, tapi sepertinya ini cukup memperlihatkan perbedaan tersebut.
Terlepas dari motivasi awal pegawai mengambil kesempatan tugas belajar, dimana saya mengambil beberapa contoh sebagai berikut,
Seperti yang sudah saya sebutkan di awal tulisan ini, diskusi tersebut mengulas seputar potongan gaji bagi seorang pegawai negeri sipil. Saya sendiri kaget sebenarnya (malu sebenernya, sudah lama kerja di bidang ini malah baru tahu detailnya sekarang), karena implementasi peraturan antar satu instansi dengan instansi lainnya ternyata berbeda. Sebagai contoh, di Kementerian Keuangan, berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 18/PMK.01/2009 tentang Tugas Belajar di Lingkungan Departemen Keuangan Pasal 9 menyebutkan bahwa pegawai yang melaksanakan tugas belajar diberikan gaji secara penuh. Sementara di Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, berdasarkan Permendiknas Nomor 48 Tahun 2009 Pasal 11 ayat 3, disebutkan bahwa pegawai tugas
belajar yang lajang mendapatkan tunjangan keluarga sebesar 50% gaji dan yang sudah berkeluarga mendapatkan tunjangan keluarga sebesar 100% gaji. Sedangkan di instansi saya sendiri (Kemenpan), kurang lebih sama dengan Kementerian Pendidikan, demikian pula dengan Kementerian Kelautan dan Perikanan yang menyebutkan tujangan keluarga sebagai tunjangan tugas belajar berdasarkan Peraturan Menteri KKP PER.09/MEN/2011 Pasal 16 ayat 3. Hal inilah yang menimbulkan pertanyaan saya, mengapa untuk tugas belajar memiliki implementasi peraturan yang berbeda antar instansi? Saya memang tidak mengambil semua instansi sebagai sample, tapi sepertinya ini cukup memperlihatkan perbedaan tersebut.
Terlepas dari motivasi awal pegawai mengambil kesempatan tugas belajar, dimana saya mengambil beberapa contoh sebagai berikut,
- sudah terlalu jenuh dan penat dengan kantor, datanglah angin segar untuk tugas belajar sehingga bebas dari tekanan kantor
- tujuan utama menjadi pegawai negeri sipil adalah mendapatkan kesempatan tugas belajar (yang lebih sulit diperoleh kalau jadi pegawai swasta, karena kebanyakan harus resign terlebih dahulu)
- niat mulia tugas belajar untuk membawa perubahan lebih baik bagi kantor dan negara dengan ilmu yang didapat
- tugas belajar sebagai salah satu sarana untuk loncatan karir
- cuma mengikuti alur saja
Terkait ketentuan lainnya
adalah tentang pembebasan sementara dari jabatan. Kadang hal ini menambah
kegalauan seseorang untuk menerima tugas belajar, karena takut jabatannya
hilang ketika mereka selesai melaksanakan tugas belajar dan kembali ke instansi
asal. Bukan hal yang tidak mungkin perbedaan implementasi tersebut akan
mendemotivasi pegawai untuk melakukan tugas belajar? karena tidak sedikit pula
instansi mengeluhkan bahwa kesempatan tugas belajar begitu lebar, tapi pegawai
jarang ada yang mau mengambilnya. Tentu ini menjadi tantangan dalam
pengingkatan kapasitas pegawai.
Di sisi lain, menyikapi soal
implementasi kebijakan manajemen kepegawaian yang berbeda, jika diibaratkan
negara adalah sebuah organisasi, faktor akibat apakah yang kemudian akan
muncul? saya bisa mengerti, hal ini tidaklah mudah. Dengan heterogenitas dan
cakupan wilayah yang sangat luas, tentunya tidak mudah untuk membuat satu induk
peraturan kepegawaian. Saya tidak menyoalkan siapa yang akan mengatur. Tapi
saya hanya membayangkan, jika antar pegawai kemudian menyoalkan perbedaan
penerimaan hak pegawai yang sama-sama melaksanakan tugas belajar (output sama:
update knowledge), bukan hal yang tidak mungkin akan menimbulkan sebuah
kesenjangan antar instansi dan ego sektoral, bahwa instansi-instansi tertentu
memberikan kelonggaran hak, sementara instansi lain sangat ketat terhadap hak
pegawai. Jika seorang pegawai di istansi A mengetahui bahwa ternyata di
instansi B seorang pegawai lajang tetap memperoleh tunjangan 100%, ini sebuah
motivas atau demotivasi? yang satu merasa instansinya sangat provide terhadap
kesejahteraan dan pengembangan kompetensi pegawai, sementara yang satu akan
merasa sangat berbeda (at least ini yang saya tangkap dalam diskusi pegawai
antar instansi tentang "pemotogan gaji"). Yang satu akan bangga
sekali terhadap instansinya, sementara yang lain akan "less respect"
terhadap instansinya. In hence, terkait dengan individual motivation tentang
tugas belajar, tentunya ini akan berdampak pada organizational commitment
pegawai. Jika terjadi perpindahan antar instansi (perlu diingat, bahwasanya pegawai negeri sipil dapat dipindahtugaskan ke instansi manapun di seluruh Indonesia, bahkan keluar negeri), akankah memiliki commitment sama? (commitment terhadap negara atau instansi?) Tentunya yang saya kemukakan ini, terlepas dari bahwa tugas belajar
adalah kesempatan baik bagi semua pegawai.
Jika memang kebijakan manajemen sumber daya manusia yang berlandaskan semangat untuk memotivasi pegawai yang menjadi dasar perbedaan implementasi, justru seharusnya ini menjadi wacana nasional dimana akan lebih baik jika pemberlakukan ini sifatnya nasional. Peraturan Menteri Pertama (adakah sekarang Menteri Pertama?), tentu harus segera diupdate, bisa saja ini digantikan oleh Peraturan Menteri Keuangan yang bisa berlaku dalam skala nasional. Namun, persoalan lain muncul, perlukah sebuah peraturan terpusat mengatur sampai detail teknis? seorang sahabat berpendapat bahwa tidak perlu sebuah aturan terpusat mengatur sampai detail teknis. Saya jadi berpikir tentang autonomy daerah. Jika ini diibaratkan otonomi daerah, dimana masing-masing daerah berhak mengelola keuangannya sendiri, dimanakah letak plus minusnya? Tapi apakah hak-hak pegawai tugas belajar memang idealnya diserahkan ke masing-masing instansi? lalu sejauh manakah peraturan sentral harus mengatur manajemen kepegawaian?
Tidak jarang, dalam keseharian kerja saya, banyak instansi berkonsultasi (atau lebih tepatnya "mengeluh"), bahwa mereka kesulitan untuk mengimplementasi peraturan-peraturan, khususnya di tingkat instansi daerah. Alasan mereka, banyak sekali peraturan yang tumpang tindih, dan juga berbeda dari tingkat pusat. Pertanyaan mereka, bagaimana mungkin mengatur pegawai yang sama-sama bekerja untuk negara tapi peraturan yang digunakan berbeda (antar instansi)?
Any ideas? Help me clear with this...
Maastricht, 1 January 2015
*bukannya belajar buat resit, malah nulis beginian *semogalulus *aamiin
Jika memang kebijakan manajemen sumber daya manusia yang berlandaskan semangat untuk memotivasi pegawai yang menjadi dasar perbedaan implementasi, justru seharusnya ini menjadi wacana nasional dimana akan lebih baik jika pemberlakukan ini sifatnya nasional. Peraturan Menteri Pertama (adakah sekarang Menteri Pertama?), tentu harus segera diupdate, bisa saja ini digantikan oleh Peraturan Menteri Keuangan yang bisa berlaku dalam skala nasional. Namun, persoalan lain muncul, perlukah sebuah peraturan terpusat mengatur sampai detail teknis? seorang sahabat berpendapat bahwa tidak perlu sebuah aturan terpusat mengatur sampai detail teknis. Saya jadi berpikir tentang autonomy daerah. Jika ini diibaratkan otonomi daerah, dimana masing-masing daerah berhak mengelola keuangannya sendiri, dimanakah letak plus minusnya? Tapi apakah hak-hak pegawai tugas belajar memang idealnya diserahkan ke masing-masing instansi? lalu sejauh manakah peraturan sentral harus mengatur manajemen kepegawaian?
Tidak jarang, dalam keseharian kerja saya, banyak instansi berkonsultasi (atau lebih tepatnya "mengeluh"), bahwa mereka kesulitan untuk mengimplementasi peraturan-peraturan, khususnya di tingkat instansi daerah. Alasan mereka, banyak sekali peraturan yang tumpang tindih, dan juga berbeda dari tingkat pusat. Pertanyaan mereka, bagaimana mungkin mengatur pegawai yang sama-sama bekerja untuk negara tapi peraturan yang digunakan berbeda (antar instansi)?
Any ideas? Help me clear with this...
Maastricht, 1 January 2015
*bukannya belajar buat resit, malah nulis beginian *semogalulus *aamiin
Salam kenal :D
ReplyDeleteterdampar di sini berawal dari cari-cari tentang potongan gaji.. dan manggut-manggut baca post ini :P
waaah..terima kasih ya sudah mampir..mba vita manggut2..saya geleng2 nggak ngerti mba :D
Deletesamaaa... terdampar setelah nyari aturan kenapa gaji saya dipotong, sementara teman saya di satu kementrian tidak, padahal sama-sama single.. dan takjub ternyata di Kemenkeu malah tidak dipotong.. antara mau berontak dan pasrah..
ReplyDeleterasanya nano-nano yang sepertinya berujung pasrah ya.. :(
DeleteHalo salam kenal! Kebetulan saya tugas belajar juga dari kemenkeu, dan saya jg terima gaji 50% dr gapok dikarenakan status ptkp saya yang tk/0 walaupun saya sudah menikah. Karena suami sama2 pns jadi beliau yg status ptkpnya k/0. Demikian mbak, jd walau di pmk menyatakan demikian, prakteknya kami tetap dipotong juga, mgkn krn dianggap PMK status hierarkinya berada di bawah PP.
ReplyDelete